Barabajabekasinews | Bekasi
Ribuan buruh dari berbagai wilayah Indonesia akan turun ke jalan pada pertengahan Agustus 2025.
Aksi nasional ini digerakkan oleh Partai Buruh dan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), sebagai bentuk protes terhadap kebijakan pemerintah yang dinilai mengancam hak-hak pekerja dan kedaulatan negara.
Melansir berbagai sumber, Presiden Partai Buruh sekaligus Ketua KSPI, Said Iqbal menyatakan bahwa sebanyak 75 ribu buruh akan menggelar aksi serentak di 38 provinsi mulai 15 hingga 25 Agustus 2025.
Unjuk rasa ini akan mereka pusatkan di Istana Negara, Gedung DPR RI, serta kantor-kantor gubernur di berbagai kota besar seperti Bandung, Surabaya, Semarang, Yogyakarta, Denpasar, Medan, dan lainnya.
Isu Utama: Penolakan Transfer Data Pribadi ke Amerika Serikat
Salah satu isu utama yang memicu gerakan ini adalah penolakan terhadap kesepakatan perdagangan digital antara Indonesia dan Amerika Serikat.
Said Iqbal menyoroti kebijakan tersebut karena berpotensi mengizinkan transfer data pribadi warga negara Indonesia ke luar negeri, terutama ke AS.
Menurutnya, transfer data tersebut melanggar hak privasi rakyat Indonesia dan dapat dimanfaatkan oleh korporasi asing untuk kepentingan bisnis maupun aktivitas intelijen.
“Ini bukan sekadar isu ekonomi. Ini menyangkut kedaulatan negara,” ujar Said dalam konferensi pers, Minggu (27/7/2025).
Sejumlah pakar keamanan siber juga memperingatkan bahaya kebijakan ini apabila tidak diimbangi dengan regulasi yang ketat dan transparansi pengelolaan data.
Tanpa perlindungan hukum yang jelas, data Warga Negara Indonesia atau WNI dapat bocor dan disalahgunakan.
Enam Tuntutan Buruh dalam Aksi Nasional
Partai Buruh dan KSPI menyampaikan enam tuntutan utama dalam aksi ini. Tuntutan tersebut meliputi isu ketenagakerjaan, perlindungan sosial, dan hak digital warga negara:
- Menghapus sistem outsourcing yang dinilai merugikan pekerja karena minim perlindungan dan kepastian kerja.
- Mengesahkan RUU Ketenagakerjaan baru, sesuai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 168/2024.
- Mengesahkan RUU Pemilu untuk memisahkan pemilu nasional dan daerah, sebagaimana diamanatkan oleh Putusan MK Nomor 135/2025.
- Menuntut sistem perpajakan yang adil untuk buruh, dengan menaikkan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) menjadi Rp7,5 juta per bulan. Buruh juga menolak pajak atas pesangon, THR, JHT, dan dana pensiun.
- Menolak transfer data pribadi WNI ke Amerika Serikat dalam perjanjian perdagangan digital.
- Segera membentuk Satuan Tugas (Satgas) PHK untuk mencegah gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang dipicu oleh kebijakan tarif Amerika Serikat (tarif Trump).
- Ancaman PHK Massal dan Tekanan Ekonomi
Said Iqbal menjelaskan bahwa kebijakan perdagangan yang diterapkan Amerika Serikat dapat memicu lonjakan PHK massal di Indonesia.
Ia menilai pemerintah belum siap menghadapi dampak dari kebijakan tersebut, sehingga diperlukan Satgas khusus untuk menangani kemungkinan lonjakan pengangguran.
Selain itu, situasi buruh saat ini juga terhimpit oleh daya beli yang terus menurun, sementara sistem perpajakan dinilai semakin membebani pekerja.
Jutaan buruh outsourcing di berbagai sektor masih bekerja tanpa kepastian, perlindungan hukum, maupun jaminan sosial yang layak.
Belum Ada Respons Resmi dari Pemerintah
Hingga akhir Juli 2025, pemerintah belum memberikan tanggapan resmi atas rencana aksi buruh nasional ini.
Namun sebelumnya, Kementerian Komunikasi dan Informatika menyebut kerja sama perdagangan digital dilakukan untuk mendorong transformasi ekonomi serta meningkatkan efisiensi layanan publik.
Meski demikian, kelompok buruh dan ahli keamanan siber menilai bahwa langkah ini harus dibarengi dengan perlindungan data pribadi yang kuat, agar tidak mengorbankan hak warga negara demi kepentingan investor asing.
“Sudah satu tahun MK mengeluarkan Putusan 168/2024, tapi RUU Ketenagakerjaan tak kunjung disahkan. Inilah bentuk kegagalan negara memenuhi hak konstitusional buruh,” pungkas Said.
Aksi unjuk rasa buruh yang akan digelar 15–25 Agustus 2025 merupakan respon besar atas kebijakan pemerintah yang dianggap merugikan pekerja dan mengancam hak digital rakyat.
Enam tuntutan utama mencerminkan keresahan buruh terhadap sistem outsourcing, kebijakan perpajakan, dan kedaulatan data. Aksi ini berpotensi menjadi tekanan politik besar menjelang pembahasan RUU Ketenagakerjaan yang dinilai mandek.



Komentar