Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin geram, Negara di dalam negara, Bandara itu dulu diresmikan Presiden ke-7 RI, Joko Widodo.
Barabajabekasinews | Bekasi
Sebuah bandara di kawasan industri PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP), Sulawesi Tengah, menuai kontroversi setelah diduga beroperasi tanpa pengawasan dan otoritas resmi dari pemerintah Indonesia, seperti Bea Cukai dan Imigrasi.
Situasi ini memicu kekhawatiran dari berbagai pihak, termasuk pemerintah dan DPR, yang menyebutnya sebagai anomali dan ancaman kedaulatan negara.
Peneliti Indonesia Strategic and Defense Studies (ISDS), Edna Caroline, adalah salah satu yang menyoroti serius masalah ini.
Ia mengungkapkan ketiadaan kontrol negara yang memadai di bandara tersebut, memunculkan istilah “negara di dalam negara”. Bahkan, Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin dilaporkan menegaskan bahwa tidak boleh ada entitas yang beroperasi seperti negara di dalam kedaulatan Indonesia.
Namun, yang terjadi di Morowali lebih dari sekadar latihan. Di sana, TNI digerakkan untuk memasuki sebuah kawasan industri raksasa, IMIP, yang selama empat tahun terakhir memiliki sebuah bandara tertutup… tanpa bea cukai, tanpa imigrasi, tanpa otoritas negara. Bandara itu dulu diresmikan Presiden ke-7 RI, Joko Widodo.
Pada 20 November 2025, beberapa waktu yang lalu, TNI menggelar latihan komando gabungan, Kopasgard di kawasan IMIP, tepatnya di bandara milik perusahaan tersebut. Latihan ini bukan latihan biasa: perebutan pangkalan udara.
Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin, hadir langsung di lokasi. Namun, alangkah geramnya saat mendapati fakta bandara itu tak bisa dimasuki oleh otoritas Indonesia. Dengan nada tinggi, Sjafrie pun mengucapkan kalimat yang membuat publik terdiam: “Tidak boleh ada negara di dalam negara.” Itu dibeber Edna dalam podcast Madilog. Pernyataan Sjafrie itu bukan metafora. Itu merujuk langsung pada bandara PT IMIP, fasilitas yang telah beroperasi sejak 2019 tanpa satu pun aparat negara mengawasi pergerakan barang dan manusia.
“Bandara itu tidak punya bea cukai dan imigrasi. Artinya, barang dan orang bisa keluar-masuk tanpa kontrol negara,” ujar Edna Caroline Patisina, peneliti ISDS, yang diwawancarai dalam program tersebut. Apa yang lebih mengejutkan: bahkan aparat keamanan disebut tidak bisa masuk. Di era sebelumnya, Dandim kabarnya hanya bisa berdiri di luar pagar.
Siapa Mengawasi Siapa? Morowali adalah jantung industri nikel Indonesia. Namun baru kini publik mengetahui bahwa di dalamnya berdiri infrastruktur strategis yang “tak tersentuh”. Etna menyebut hal ini sebagai anomali kedaulatan. Bandara di Freeport terbuka untuk negara, bandara di Kediri (milik swasta) juga tetap di bawah otoritas penuh pemerintah. Tapi IMIP tidak.
“Ini bukan soal ekonomi saja. Ada aspek pertahanan, ada aspek kedaulatan. Bagaimana negara bisa memastikan apa yang keluar dan masuk jika otoritasnya tidak hadir?” ucapnya. Apalagi kawasan itu berada tidak jauh dari alur laut kepulauan — jalur strategis yang menjadi rute kapal selam dan pesawat asing. Indonesia sendiri belum memiliki sistem sensor dan radar bawah laut yang memadai. Sebuah bandara tertutup di titik seperti ini dianggap “risiko besar”.
Dinamika Politik dan Bayang-Bayang Oligarki Isu ini langsung menukik ke ranah lebih sensitif: siapa yang berada di belakang struktur IMIP? Data akta perusahaan menunjukkan nama-nama besar. Sintong Panjaitan dan Hendarji, misalnya, tercatat sebagai komisaris. Hubungan antara industri tambang, investasi Tiongkok, dan kehadiran figur-figur petinggi militer dan aparat telah lama menjadi pembicaraan publik. Latihan gabungan TNI ini dianggap banyak pihak sebagai “sinyal keras”. Bahwa Prabowo, lewat Sjafrie Sjamsoeddin, sedang menata ulang relasi kekuasaan yang selama bertahun-tahun ditoleransi negara.
Menurut Edna, langkah ini bisa dibaca sebagai evaluasi terhadap pola kompromi rezim sebelumnya — terutama dalam konteks investasi besar dan pengelolaan kawasan industri yang diberi banyak kelonggaran regulasi. Kedaulatan Tak Bisa Dikompromikan Latihan TNI ini bukan sekadar show force. Pesannya jelas: negara hadir dan tidak akan membiarkan kawasan strategis berada di luar kontrol. Namun ujian sesungguhnya justru datang setelah latihan usai.
Apakah bandara itu akan benar-benar dibuka untuk otoritas nasional? Apakah Bea Cukai, Imigrasi, dan AirNav akan ditempatkan? Apakah izin pembangunan dan operasionalnya akan diperiksa ulang? Edna menutup dengan peringatan tajam: “Jangan sampai kita terbuai oleh narasi heroik.
Negara harus hadir bukan hanya saat latihan, tetapi dalam sistem, pengawasan, dan kebijakan jangka panjang.” Pertanyaan awal itu kini kembali mengemuka, lebih keras daripada sebelumnya: Ada apa sebenarnya di Morowali — dan selama ini siapa yang mengawasi siapa?

Komentar