Barabajabekasinews | Bekasi
Persidangan tindak pidana dugaan pemalsuan dokumen dengan terdakwa Naharsyah di Bekasi membuka fakta-fakta baru yang mengarah pada dugaan kelalaian serius oleh pihak Notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), Wiwik Rowiyah Suparno (WRS), dalam menjalankan fungsinya. Bukti yang diajukan dalam persidangan dinilai tidak kuat menyudutkan terdakwa, melainkan menyoroti prosedur pembuatan Akta Jual Beli (AJB) yang tidak wajar.
Dalam persidangan, sejumlah saksi memberikan keterangan, termasuk notaris WRS sendiri, serta beberapa individu yang terlibat dalam mata rantai pengurusan dokumen jual beli tanah.
Pihak penjual, Denny Hidayat (DH) dan istrinya Irawati, sebelumnya telah melaporkan kasus ini ke polisi karena merasa tidak pernah menandatangani atau membubuhkan cap jari pada AJB yang menjadi dasar pengurusan balik nama Sertifikat Hak Milik (SHM).
Kesaksian di persidangan menunjukkan adanya pelanggaran prosedur yang signifikan.
Saksi Hendra Isnanto (HI), staf di kantor notaris WRS, menerangkan bahwa penandatanganan AJB oleh pihak pembeli dilakukan di kantor notaris, namun pihak penjual tidak hadir. WRS mendelegasikan proses ini kepada stafnya.
Notaris WRS sendiri mengakui di persidangan bahwa AJB dengan para pihak DH dan Fachrainy (ibu terdakwa) tidak ditandatangani di hadapannya selaku PPAT dan tidak dibacakan di hadapan para pihak. Ia menegaskan bahwa akta yang cacat formal adalah tidak sah.
Para saksi lain yang terlibat dalam pengurusan dokumen, seperti Noris Fernando Pakpahan (NFP) dan Steven Juliando Sibarani (SJS), juga mengakui bahwa proses AJB yang terjadi, di mana draf akta diedarkan untuk ditandatangani tanpa kehadiran seluruh pihak di hadapan PPAT, merupakan suatu prosedur yang tidak wajar atau cacat hukum.
Kronologi dan Pihak Terkait
Kasus ini bermula dari kesepakatan jual beli tanah seluas 200 meter persegi (SHM) dan 216 meter persegi (Girik) pada Desember 2019 antara penjual (DH dan Irawati) dengan pembeli Fachrainy, yang diwakili oleh anaknya, Naharsyah. Pihak pembeli telah membayar total Rp 1,135 miliar secara bertahap.
Masalah muncul ketika penjual mengaku bahwa AJB untuk tanah Girik seluas 216 meter persegi adalah palsu, yang memicu penundaan pelunasan oleh pihak pembeli. Terdakwa Naharsyah, untuk menyelesaikan masalah status tanah Girik, kemudian melakukan pembelian terpisah kepada ahli waris pemilik Girik yang sah.
Tuntutan Jurnalis agar Notaris Turut Bertanggung Jawab
Menyikapi fakta persidangan, Ketua Umum Jurnalis Merah Putih Nusantara (JMPN), Raja Simatupang, menegaskan bahwa penetapan terdakwa Naharsyah sebagai tersangka adalah salah kaprah.
Menurutnya, pihak yang paling bertanggung jawab adalah notaris WRS karena telah melanggar sumpah jabatan dan aturan perundang-undangan yang mengharuskan para pihak hadir saat penandatanganan akta.
“Karena saudari WRS sudah melanggar sumpah sebagai pejabat pembuat akta tanah di mana proses tersebut sudah cacat hukum,” ungkap Raja Simatupang.
Raja menandaskan, kasus ini tidak layak maju ke pengadilan dengan terdakwa saat ini, cetusnya, pada Sabtu 29 /11/2025.
“Kalau memang mau dipaksakan maju yang seharusnya jadi terdakwa adalah notaris,” pungkasnya.

Komentar